Kamis, 13 September 2012
20.00 WIB
Kebakaran… kebakaran… !! teriak anak-anak kecil itu, anak-anak yang ditaqdirkan kurang beruntung, lahir dan besar di rumah-rumah kayu, rumah pemulung, bahkan banyak yang meyematkan nama “tempat sampah”, lahir sebagai pewaris kerja ayah-ayah mereka. Makan yang entah berapa hari sekali, bukan berapa kali sehari, gizi tak tercukupi, pendidikan yang menjadi hak mereka pun tak terpenuhi.
Pagi, yang seharusnya menjadi hak mereka menuntut ilmu bersama kawan sebaya, mereka habiskan hanya untuk menatap mereka yang lebih beruntung memakai seragam… lalu kembali menyimak taqdir mereka, kemudian memulai hari dengan memulung, dan mengakhirinya dengan memulung juga. Pagi memulung, siang memungut, sore memulung lagi, hingga malam menjelang pun mereka masih setia mengayunkan kaki-kaki mungil tak beralas itu di jalanan, mengais rezeki dengan mengutip barang-barang yang selalu kita buang karna kita menganggapnya sampah, tak heran rumah mereka pun ternamai tempat sampah.
Beberapa hari setelah karung penuh, baru mereka menjualnya, yang sudah pasti hasilnya tak seberapa, mungkin hanya sebesar uang saku anak-anak berseragam yang bertuah itu…ah, terlalu besar malah… Jika beruntung, ada yang dapat uluran tangan, yang juga tak seberapa, saat mereka sedang “jalan-jalan”.
Teriakan itu benar-benar bertenaga,membuat semua warga panik bin ketakutan. Asap hitam bergulung menjulang, ngeri sekali menatapnya. Semua berteriak menyuruh keluar, selamatkan barang berharga, matikan listrik, dan sebagainya… namun, ternyata banyak juga yang bernyali, asyik merekam dengan ponselnya, sudah macam reporter saja…
Namun anak-anak itu…yang kurang beruntung itu… apa pula yang harus mereka selamatkan??!!
Kenapa pula tak turun hujan malam ini?? Angin kencang mendukung api yang terus menjalar, kian membara, meratakan rumah-rumah kayu milik anak-anak itu…ah…sedihnya…
2 jam berlalu…api berhasil padam. Tapi rumah-rumah itu?? Bara rata dengan tanah…..
Warga kembali berteriak, sudah aman, mari kita pulang…!! Ya, kita yang begitu panik tadi masih bisa pulang dengan selamat ke rumah yang juga masih utuh.
Tapi, lagi-lagi, anak-anak kurang beruntung itu, hendak ke manakah mereka pulang?? Ke mana pula mereka kan bernaung??
Haruskah kita berucap “Alhamdulillah” atas rumah kita yang selamat, sedang mereka tidak?? Padahal dahulu seorang tabi’in bertaubat, berminggu-minggu, setelah menyadari kesalahannya, karena reflek telah berucap hamdalah saat diberi kabar bahwa tokonya satu-satunya yang selamat dari kebakaran hebat yang menghabiskan toko-toko lain di sekitar tokonya. Masya Allah… Laa haula wa laa quwwata illa billah…
Lantas?? Siapa yang bertanggung jawab atas mereka?? Bukan hanya atas kejadian tadi, namun juga atas hilangnya hak-hak mereka selama ini..??
Pemerintah??
ah, peduli apa!! Kata mereka…
kawan, terlalu riskan berharap kepada pemerintah masa sekarang ini, sepertinya mereka tak kan pernah mendengar…
Orang kaya??!!
sepertinya tak semua peduli, tak semua dermawan, tak semua melihat, apalagi menyimak, ah, sudahlah… manusia…
Kita??
mungkin saja, karna selama ini tak pernah peduli, hanya tau mencaci, memandang jijik pada mereka, lantas membuang muka mencari pemandangan yang lebih indah…??!!
Allah??!!
Ya… Tentu saja!! hanya kepada Nya kita berharap dan memohon. Bukankah janji Allah pasti??!!
namun yang perlu diingat, bahwa Allah takkan merubah suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang berusaha merubahnya.
Kemudian… mari kawan, mulai detik ini, kita peduli. Tak lagi menunggu mampu, jangan lagi menanti kaya!! Sekarang juga, pedulilah…!!
Aku??
seperti kalian, hanya sebatas pemerhati, tak jua banyak memberi…
sebenarnya mereka tak butuh kata, hanya butuh uluran tangan kita, apa saja bentuknya, tak sebatas harta…
namun kutuliskan jua, agar semua melihat, kemudian bersama menyimak, menyimak keadaan mereka, meyimak ayat langit yang menggugah jiwa…
“yaitu orang-orang yang menginfakkan harta mereka, baik di waktu lapang maupun sempit, mampu menahan amarah mereka, serta memaafkan kesalahan manusia. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” – Ali ‘Imron : 134 –
Wallahu a’lam…
Najmach Wafa’
Jakarta Selatan