Muslimah yang dirahmati Allah…
Ibu, sebagai madrasah pertama bagi putra-putinya memang memiliki banyak sisi menarik untuk selalu dibahas, didiskusikan, ditulis dan dibukukan dan sebagainya. Sudah beratus buku membahas, berulang kali seminar diadakan, berapa kali pula ceramah diperdengarkan. Namun tak ada salahnya kita membahasnya lagi, lagi dan beribu kali lagi, mengingat betapa pentingnya peran ibu dalam menentukan sukses tidaknya buah hatinya kelak, baik dunia maupun akhiratnya.
Sudah banyak pembahasan mengenai cara-cara mengatasi sikap anak yang begini dan begitu, bagaimana agar anak cerdas, pandai, pintar, dan seterusnya, singkatnya bagaimana anak sukses dunianya… namun sepertinya tak banyak yang mengingatkan akan kesuksesan akhirat anak, yang sebenarnya inilah yang sangat diharapkan orang tua, anak yang kelak akan menjadi shodaqoh jariyahnya, yang doanya tak pernah putus mengalir untuknya, memohonkan ampun untuknya, mengharap limpahan rahmat dah kasih Nya untuknya, dan yang akan senantiasa berdoa kepada Al-Mannan agar kelak mengumpulkan ia dengan kedua orangtuanya di jannah Nya.
Muslimah, tujuan kita adalah mencetak insan yang shalih. Kata-kata “mencetak insan yang shalih” memang terdengar sangat indah, tetapi ia jauh lebih berat daripada gunung. Adalah mudah untuk sekedar bersemangat mewujudkannya, tetapi berproses mewujudkannya lebih pahit daripada empedu.
Maka, kita mesti bekerja keras dalam rangka “mencetak insan yang shalih” itu, karena artinya sama saja dengan mencetak masa depan. Yakinlah bahwa segala kerja keras kita tidak akan percuma betapapun rusaknya kenyataan yang ada.
Lantas, bekal apa yang harus kita punyai sebagai pendidik pertama bagi mereka, putra putri kita, agar menjadi insan yang shalih, agar tak hanya sukses dunianya saja, tapi sukses akhirat yang menjadi target utama dalam kehidupannya??!!
Setidaknya ada 3 bekal dasar yang sangat urgent yang wajib dimiliki oleh seorang pendidik muslimah:
Pertama : iman dan taqwa
Tak diragukan lagi bahwa keimanan dah ketaqwaan adalah bekal utama dan pondasi yang akan mengokohkan orang tua dalam mendidik putra-putrinya. Apalah jadinya seorang ayah menyuruh anaknya mengaji sedang ia sibuk dengan hp nya, atau laptopnya. Apa pula menfaatnya seorang ibu menyuruh anaknya sholat atau belajar sedang ia asyik dengan tv nya??!! Bukankah anak dilahirkan dalam keadaan fitroh, sedang orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi??
Muslimah, sebuah teladan yang baik walau hanya sekali seribu kali lebih berharga bagi anak ketimbang ribuan kata. Karena anak adalah peniru ulung. Tinggal bagaimana kita yang menjadi sosok “yang ditiru”, menyuguhkan sikap kepada mereka. Orang tua yang senantiasa membiasakan diri dengan amal ketaqwaan, secara tidak langsung juga membiasakan anak untuk menjadikan amalan-amalan itu sebagai kebiasaannya, hingga besar nanti. Shalat faridhah, puasa, sunnah-sunnah dan nawafil, qiyamullail, berkata baik, jujur, senang membantu, berilmu (selalu semangat menuntut ilmu), dan masih banyak lagi amal ketaqwaan yang menjadi wasilah dalam beribadah kepada Allah. Karena manusia tidak diciptakan kecuali untuk ibadah.
Kedua : sabar dan tawakkal
Mengasuh, mendidik, mencetak putra-putri menjadi pribadi yang shalih memang bukan pekerjaan yang gampang. Butuh kerja keras dan kesabaran ekstra. Apalagi ia bukanlah pekerjaan yang sebulan dua bulan selesai. Sama sekali bukan. Ia harus dilakukan oleh orang tua sepanjang hayatnya.
Karena itu sabar termasuk bekal penting yang harus kita miliki dalam mencetak generasi yang shalih. Sabar dalam melaluinya hari demi hari, kemudian bertawakkal kepada Allah akan hasilnya.
Ketiga : doa
Terakhir, tampaknya sepele tapi sungguh ia merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, ia adalah doa. Sebaik apapun kita mendidik anak, ada yang tak dapat kita abaikan, yakni ketulusan dan kesungguhan memohon pertolongan, penjagaan dan perlindungan Allah ta’ala dari segala keburukan, yang tampak maupun tak tampak. Sungguh, tiada daya dan upaya selain semata-mata karena Allah Tuhan Sekalian alam. Sungguh, Dia yang menggenggam hati manusia sebagaimana Dia menggenggam seluruh yang ada di alam semesta ini.
Seyakin apapun kita terhadap upaya kita, kita tetap tidak sanggup menggenggam hidup kita sendiri. Lebih-lebih kehidupan anak-anak kita, cucu kita dan keturunan kita selanjutnya. Maka kepada Allah lah kita sungkurkan kening, mengakui kehinaan diri dan memohon dengan penuh harap dan pinta kepada Nya. Wallahu a’lam.
Sabtu, 13 Oktober 2012
Najmach Wafa’