Ada sosok wanita mulia berbalut keagungan di balik kesuksesan Umar bin Abdul Aziz dalam memegang roda kekhilafahan. Hanya dua tahun sekian bulan, waktu yang tidak lama, namun para ahli tarikh sepakat untuk mentahbiskannya menjadi khalifah rasyidah kelima, setelah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Keadilan begitu merata, hingga saat itu kaum muslimin kesulitan mencari mustahiq dari zakat-zakat mereka, sebab semua rakyat berkecukupan. Tak hanya manusia, kesejahteraan bahkan dirasakan oleh makhluk Allah yang lain, dikatakan bahwa pada tahun Umar berkuasa, domba-domba aman bermain di samping serigala. Tiada ketakutan, keresahan. Yang ada hanyalah rasa aman, damai, tentram di bawah nikmat dan karunia Allah ‘Azza wa Jalla.
Dia adalah sosok wanita mulia, yang rela melepas baju kemewahan untuk tetap setia di sisi sang kekasih hati. Ridha dengan segala ketetapan yang telah digariskan untuknya, meski harus menanggalkan kenikmatan dan kehidupan istana yang ia nikmati sejak ia dilahirkan.
Nasab dan Pernikahannya
Fatimah bintu Abdul Malik bin Marwan bin Hakam bin Abil ‘Ash al-Qurasyi al-Umawiy. Sungguh nasab yang agung nan mulia dari suku Quraisy yang mulia. Ibundanya bernama Ummu Mughirah bintu Khalid bin al-‘Ash al-Makhzumiyah.
Ayahnya dan kakeknya adalah seorang khalifah. Umar suaminya juga seorang khalifah. Dan 4 saudara lelakinya pun seorang khalifah. Kemuliaan nasab dan keturunannya diabadikan oleh seorang penyair dalam bait:
بِنْتُ الخَلِيْفَةِ وَالخَلِيْفَةُ جَدُّهَا أُخْتُ الخَلَائِفِ وَالخَلِيْفَةُ زَوْجُهَا
Putri seorang khalifah (Abdul Malik bin Marwan), cucu seorang khalifah (Marwan bin Hakam)…
Saudari para khalifah (al-Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Yazid bin Abdul Malik, dan Hisyam bin Abdul Malik), dan pendamping seorang khalifah (Umar bin Abdul Aziz)…
Ia lahir di tengah keindahan istana, kemewahan hidup, dan gelimang harta. Ayahnya memberikan pendidikan terbaik untuknya dan saudara-saudaranya. Namun ia begitu harum dengan keluhuran sikap, kemuliaan akhlak, keindahan pekerti. Hingga menjadikannya putri kesayangan ayahnya.
Saat ia beranjak dewasa, semua mata pembesar Bani Umayyah berpusat kepadanya. Berebut mempersunting. Betapa tidak, semua kemuliaan berkumpul dalam dirinya. Ia adalah sosok wanita cerdas dan cantik, memiliki nasab yang mulia, putri seorang khalifah, dunia berputar di sekelilingnya, berakhlak mulia, dan dien yang sempurna.
Sang ayah begitu bijak, tak ingin menyerahkan permata berharganya di tangan yang salah. Maka sang ayah pun mencarikan yang terbaik untuk putri tercintanya. Pilihannya jatuh pada anak saudara yang berada dalam asuhannya sejak saudaranya meninggal, Umar bin Abdul Aziz.
“Amirul Mukminin telah menikahkanmu dengan putrinya, Fatimah,” ujar sang ayah kepada Umar.
“Semoga Allah memberkahimu, wahai paman. Engkau telah melebihkan kebaikan untukku,” jawab Umar.
Pilihan yang tepat. Dan sungguh sebuah pernikahan yang diberkahi.
Sikap Teladan Di Saat Ada dan Di Kala Papa
Ia mendampingi sang kekasih saat saudaranya, Walid bin Abdul Malik, mengangkat Umar menjadi gubernur Madinah. Hidup berkecukupan tidak membuatnya tinggi hati. Ia tetap berada pada keanggunan sikap dan keindahan pekerti.
Dan saat saudaranya, Sulaiman bin Abduk Malik, di akhir hayatnya menyerahkan hak kekhalifahan di tangan sang kekasih, ia juga merupakan teladan terbaik di masanya.
Saat itu, seusai pembai’atan, Umar pulang ke rumah dengan berlinang air mata. Fatimah yang menyaksikan sang kekasih kalut dalam takut, berusaha menghiburnya. “Wahai Fatimah, sungguh aku mendapatkan musibah, aku terfikir kaum miskin papa, yang tengah kelaparan, yang lemah lagi terdzalimi. Sungguh, aku akan mempertanggungjawabkan semuanya di hadapan Allah nanti,” ujar Umar kepadanya.
Kemudian Umar memberinya pilihan, hidup bersamanya dalam kesederhanaan, atau kembali ke istana kelahiran. Sebuah pilihan yang sulit. Namun tidak bagi Fatimah. Ia tetap memilih menggenggam tangan sang kekasih untuk terus berjalan seiring, saling menguatkan, bahkan tanpa perlu berfikir panjang atas pilihannya. Ia terus di sisi sang kekasih hati, saat sang kekasih berikrar untuk menapak tilasi jejak khulafa-ur rasyidin dalam menjalankan roda pemerintahan.
Dan ia betul-betul membuktikan pilihannya. Dengan penuh kerelaan hati, ia melepas semua perhiasan yang melekat di badannya, ketika sang suami memintanya untuk mengembalikan semuanya ke baitu mal muslimin (tempat penyimpanan harta umat). Sejak amanah berat dibebankan di pundak suaminya, suaminya begitu khawatir akan keselamatan keluarga mereka. Hingga sang suami memilih untuk meninggalkan dunia, semuanya tanpa sisa. Hanya tersisa satu pakaian yang melekat di badan.
Pernah suatu ketika, seorang wanita datang hendak berjumpa dengan khalifah. Ia pun mengetuk pintu rumahnya. Fatimah keluar dengan tangan belepotan adonan gandum. Wanita tersebut kemudian menyampaikan maksudnya ingin menemui khalifah. Fatimah memintanya untuk menunggu sejenak. Saat itu, wanita tersebut melihat ada seorang laki-laki yang tengah memperbaiki tembok rumah, tangannya kotor oleh tanah. Melihat Fatimah yang tidak menutup auratnya di hadapan laki-laki asing, wanita tersebut menegur Fatimah dengan penuh keheranan. Mendengar itu, Fatimah lalu tertawa sembari berujar, “Itulah Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, dan aku Fatimah, istri beliau.”
Setia Hingga Berpisah Raga
Sepeninggal Umar, saudaranya Yazid bin Abdul Malik yang menggantikan kursi kekhilafahan, menemui Fatimah dengan membawa perhiasan miliknya dahulu yang diserahkan ke baitul mal. “Wahai saudariku, ini milikmu, yang dulu dikembalikan oleh Umar ke baitul mal, ambillah,” ujar Yazid.
Mendengar itu, kesedihan menyelimuti wajah Fatimah. Betapa ingatan akan suaminya masih terus melekat. Bibirnya bergetar seraya berkata, “Demi Allah, pantaskah jika aku mentaatinya sewaktu hidup, lantas aku mengkhianatinya saat ia telah tiada?”
Ia memilih untuk terus mengingat sang kekasih hati dengan tetap mentaatinya, meski raga telah berpisah. Dahulu, mereka saling berjanji untuk meninggalkan dunia, sejak dunia mendatanginya dalam bentuk kekuasaan. Maka, biarlah ia tetap pada ikrar hatinya. Kembalikan perhiasan ini ke baitul mal, itu sudah menjadi milik kaum muslimin sejak aku merelakannya. Aku takkan menarik kembali apa yang telah aku berikan. Begitu jawabnya kepada saudaranya.
Semoga keberkahan senantiasa bersamamu, wahai Fatimah bintu Abdul Malik. Engkau sungguh teladan terbaik di saat dunia dalam genggaman, di saat kekuasaan di hadapan. Bahwa harta dan kuasa tidaklah patut membuat gelap mata, dan kehilangan dunia tidak lantas menghilangkan kehormatan jiwa.
Najmah Wafa’