3. Mendidik dengan kisah dan permisalan.
Selain motivasi, kita juga perlu memberi inspirasi. Salah satu cara menginspirasi yang baik adalah dengan menuturkan kisah kepada mereka. Dengan kisah kita berusaha menanamkan nilai-nilai kepada mereka. Bahkan sebagian besar “pelajaran” dalam Al-Qur’an Allah tanamkan lewat kisah dan permisalan. Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat…” (Yusuf: 111)
Secara luas Al-Qur’an telah menggunakan cerita untuk menuturkan, menanamkan, dan memasukkan berbagai macam nilai luhur ke dalam jiwa orang beriman. Cerita juga merupakan salah satu prinsip utama di dalam pendidikan islami. Ada begitu banyak kisah dalam Al-Qur’an, hadist, kisah para sahabat, yang dapat kita tuturkan saat ingin menanamkan nilai kejujuran, kebaikan, keberanian, kesabaran, syukur, dan masih banyak lagi.
Sebagai contoh, kita dapat menanamkan nilai muraqabatullah, bahwa kita selalu dalam pengawasan Allah, dengan kisah Umar bin Khattab dan seorang penggembala yang ingin diuji kejujurannya oleh Umar. Atau kisah Umar dengan seorang gadis penjual susu.
Nilai senang berbagi dapat kita tanamkan lewat kisah para pemilik kebun seperti disebutkan Allah dalam surat al-Qalam, yang karena kekikirannya, Allah pun menghancurkan kebun mereka sekejap mata.
Kita juga dapat menanamkan kesabaran lewat kisah para nabi, Nabi Nuh, Nabi Ayyub, juga kesabaran Nabi Muhammad dalam perjalanan dakwah mereka. Atau kesabaran dan semangat para ulama’ dahulu dalam menuntut ilmu. Seperti kisah Imam Bukhari dalam perjalanannya mencari sebuah hadist, Imam Muslim, Ibnu Sina, dan masih banyak lagi yang bahkan sejarah takkan mampu menuliskan semuanya.
Seiring dengan itu, kita juga dapat mengajarkan mereka dan mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan suatu pekerjaan dan tidak mudah menyerah atas kegagalan. Selain itu kita juga dapat mengasah ketaqwaan anak untuk selalu berikhtiar dalam usaha tawakkal kepada Allah, dengan bercerita tentang kemenangan kaum muslimin di berbagai pertempuran, Badar, Khandaq, Yarmuk, Yamamah, Qadisiyah, ‘Ain Jalut, dan lainnya, dengan menegaskan kepada mereka bahwa keberhasilan memerlukan ikhtiar dan kesungguhan, kesabaran dan ketaatan kepada pemimpin.
Lalu di akhir setiap cerita, kita dapat bersama-sama mendiskusikan hikmah dan pelajaran berharga yang terkandung di dalam kisah tersebut dengan putra-putri kita, kemudian menutupnya dengan doa yang baik, seperti “Ya Allah, jadikanlah kami hamba yang selalu bersyukur. Ya Rahman, tuangkanlah kesabaran yang tidak pernah ada habisnya dalam jiwa-jiwa kami. Ya Rabbi, ridhai setiap langkah kami.”
Sungguh betapa indahnya…
4. Metode percakapan.
Mencoba untuk mendengarkan keluhan putra-putri kita, menyimaknya hingga tuntas, memberi mereka kesempatan untuk merampungkan kata-kata mereka, lalu memahaminya dari sudut pandang mereka, semestinya menjadi watak istimewa dalam setiap dialog kita dengan mereka. Sebab mendengarkan adalah sarana termudah untuk menyentuh hatinya.
Mendengarkan dengan penuh kesadaran juga sangat penting dalam metode ini. Mencoba bersabar dalam mendengarkan, memposisikan diri kita sebagai kawan baginya, menjadikannya pusat perhatian kita dengan menatap matanya. Ya, dengan menatap matanya.
Tatapan mata orang yang menyimak kepada orang yang sedang berbicara menambah fokus orang yang menyimak sekaligus meningkatkan kenyamanan orang yang berbicara. Karena dengan menatap matanya, berarti kita tengah menghargai ia.
Memang, mendengarkan mereka hingga tuntas kadang kala menyita waktu kita, akan tetapi sebenarnya ia mencegah bertahun-tahun kesalahpahaman dan kebuntuan komunikasi. Coba dengarkan perkataan sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu:
“Penuhilah hak telingamu dari mulutmu, sebab engkau diberi dua telinga dan satu mulut agar lebih banyak mendengar daripada berbicara.”
Berapa banyak anak yang enggan menceritakan masalahnya kepada orang tuanya, berapa banyak anak yang keluar rumah hanya untuk mencari kawan yang dapat mendengarkan kalimatnya? Lalu apa gunanya rumah jika hanya menjadi tempat singgah baginya? Apa manfaatnya mempunyai orang tua yang tak menjadi tempat ia kembali?
Sungguh, betapa ruginya kita sebagai orang tua yang tak mau menginstrospeksi diri sendiri. Dan betapa ruginya kita, tak mampu menjadi orang tua, kawan, dan pendengar yang baik bagi putra-putri kita sendiri.
5. Metode pembiasaan dan pengarahan.
Membiasakan putra-putri kita berdisiplin, disiplin akhlaq, disiplin agama, disiplin dalam bermu’amalah haruslah diawali dengan mendisiplinkan diri kita sendiri sebelum mereka, selalu memperbaiki diri. Karena mata mereka terpaut dengan kita. Bagi mereka, yang dinamakan kebaikan adalah apa yang kita lakukan, dan yang namanya keburukan adalah apa yang kita tinggalkan.
Dalam mengarahkan anak, kita harus membiasakan diri menggunakan bahasa yang lembut. Menyampaikan nasehat dengan segenap kasih sayang, mengarahkan secara bertahap. Banyak cara yang dipakai oleh Rasulullah dalam mendidik dan mengarahkan para sahabatnya, tak satu pun di antaranya yang menggunakan kalimat ancaman maupun kata kasar, bahkan kepada musuh pun beliau santun dan lembut.
Meminimalkan hukuman dan memperbanyak reward, baik penghargaan maknawi maupun materi, juga merupakan pembiasaan yang dapat kita lakukan dalam mendidik anak. Namun perlu diperhatikan, bahwa pemberian hukuman harus didahului “perjanjian” dengan anak. Misalnya bila anak sudah berusia 10 tahun tidak mau sholat, “kalau kakak tidak sholat, ayah akan pukul kamu”.
Bukan ketika anak tidak mau sholat, tiba-tiba kita pukul tanpa perjanjian sebelumnya. Dan ketika ia telah berhasil mengalahkan dirinya sendiri lalu melaksanakan sholat, jangan lupa untuk memberikan penghargaan kepadanya. Penghargaan tidak selalunya bersifat materi, bisa dengan ungkapan yang baik dan doa yang tulus. “Wah, kakak pintar ya, subhanallah. Alhamdulillah ternyata kakak bisa. Kakak the best. Barokallau fiik, fatahallahu ‘alaik”. Dan sebagainya.
Kuncinya adalah dengan melipatgandakan kesabaran dalam menghadapi anak-anak. Juga berusaha untuk melihat anak-anak dari proses dan usahanya, bukan semata-mata fokus melihat hasilnya.
6. Memberikan penghargaan dan kalimat pujian.
Jangan segan untuk memberikan pujian yang tulus kepada putra-putri kita, saat ia melakukan usaha terbaiknya, atau berhasil dalam mencapai sesuatu, hatta terhadap perubahan kecil yang terjadi pada dirinya. Berapa banyak pujian yang dapat mengubah perilaku anak, menerbitkan potensinya yang terpendam, dan meningkatkan rasa percaya dirinya.
Terlebih jika pujian yang kita ucapkan sekaligus doa bagi mereka, sesuai dengan tingkat kesulitan yang telah mereka hadapi. Seperti kalimat “barakallahu fiik, semoga Allah memberkahimu”, “masya Allah ‘alaik”, “Allahu yu’iinuk, semoga Allah menolongmu”, “Allahu yaziiduka ‘ilman, semoga Allah senantiasa menambahkan ilmu atasmu”, dan lain sebagainya.
Mungkin ungkapan-ungkapan ini sederhana sekali, mudah diucapkan, dan sepertinya kurang menarik di mata sebagian orang. Akan tetapi, makna ungkapan doa ini sangat dalam. Sudah selayaknya kita selipkan di sela ungkapan lain, seperti mumtaz, excellent, bagus, pintar, dan sebagainya. Bila kita mensosialisasikan kalimat-kalimat ini, percayalah bahwa anak akan merasa sangat dihargai.
Bukankah kita semua percaya bahwa doa orang tua untuk anak-anaknya adalah mustajab? Karena itu kita selalu berusaha agar kalimat yang keluar dari lisan kita hanyalah kalimat yang baik saja. Ungkapan-ungkapan ini juga sebagai pengingat bagi kita dan putra-putri kita, bahwa kesuksesan mereka seberapa pun besarnya adalah karena Allah yang memperkenankan.
Orang tua ideal
Mereka adalah orang tua yang memiliki masa kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orang tua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.
Mereka memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua. Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan, mainan, dan apa saja yang disukai oleh anak-anaknya.
Mereka berdiskusi di ruang makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah. Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam kehidupan belajar.
Mereka adalah pembimbing, bukan pemerintah; teladan, bukan pengkritik; bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah; tidak membimbing anaknya dengan celaan, melainkan dengan cinta dan kelembutan; memimpin mereka dengan komando hati, bukan fisik. Mereka adalah orang tua yang menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka. Mereka begitu yakin bahwa anak membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya.
Dengan kata lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan menemukan sendiri kekuatan dirinya. Bagi mereka setiap anak adalah benar-benar seorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik. Karena pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar.
Kekuatan doa
Terakhir, tampaknya sepele tapi sungguh ia merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, ia adalah doa. Sebaik apapun kita mendidik anak, ada yang tak dapat kita abaikan, yakni ketulusan dan kesungguhan memohon pertolongan, penjagaan dan perlindungan Allah ta’ala dari segala keburukan, yang tampak maupun tak tampak.
Sungguh, tiada daya dan upaya selain semata-mata karena Allah Tuhan Sekalian alam. Sungguh, Dia yang menggenggam hati manusia sebagaimana Dia menggenggam seluruh yang ada di alam semesta ini.
Seyakin apapun kita terhadap upaya kita, kita tetap tidak sanggup menggenggam hidup kita sendiri. Lebih-lebih kehidupan anak-anak kita, cucu kita dan keturunan kita selanjutnya. Maka kepada Allah lah kita sungkurkan kening, mengakui kehinaan diri dan memohon dengan penuh harap dan pinta kepada Nya.
Nah, saat kita berhasil membentuk insan yang shalih –dengan ijin Allah-, kita akan mencetak generasi rabbani dan islami, hingga terwujudlah cita-cita kita dalam merealisasikan negara yang aman lagi diridhai Allah, penuh dengan rahmat dan ampunan-Nya, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Saat itulah, kita membuat peradaban. Peradaban indah nan mulia, seperti ketika Islam menguasai dunia bertahun-tahun yang lalu.
Wallahu Ta’ala a’lam bish shawab.