Mencetak generasi, membentuk peradaban 1

MENCETAK GENERASI, MEMBENTUK PERADABAN

Bekal dasar seorang pendidik

“Mencetak insan yang shalih”, kalimat indah yang mewakili tujuan seorang pendidik dan orang tua dalam usahanya menaiki tangga demi tangga mencetak generasi rabbani, yang berujung pada “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur”.

Mencetak insan yang shalih berarti mencetak masa depan, sungguh kalimat yang indah, namun aplikasinya jauh lebih berat daripada gunung. Mudah untuk sekedar bersemangat mewujudkannya, tetapi proses mewujudkannya lebih pahit dari empedu.

Cinta memang suatu keniscayaan dalam mendidik anak, akan tetapi ia harus berarti kemampuan mengasuh, jika tidak; cinta semata tidak akan memadai untuk mencapai perilaku baik yang kita inginkan bagi putra-putri kita. Rasa cinta, kasih dan sayang tergolong hal mendasar dan inti dalam pendidikan, bahkan dalam segala aspek kehidupan, namun ilmu dan pengetahuan tetap merupakan hal yang teramat penting.

Kebutuhan putra-putri  kita akan sosok ayah dan ibu yang “terlatih” sama besarnya dengan kebutuhan mereka akan sosok ayah dan ibu yang “penyayang”. Berinteraksi dengan anak merupakan gabungan dari bakat, pengetahuan, dan seni; suatu bakat yang membuat seseorang lebih mampu mendidik daripada orang lain, suatu pengetahuan dan pengalaman yang kita pelajari dari beragam buku dan pengalaman orang lain, dan suatu seni yang kita gunakan untuk mempraktikkan apa yang sudah dipelajari dengan format yang pas bagi putra-putri kita.

Gerbong pendidikan ada kalanya jauh lebih mudah dimasuki jika kita selaku orang tua memiliki semua tiket gerbong tersebut. Hanya saja faktanya, tidak sedikit tiket gerbong tersebut berada di tangan-tangan kawan-kawan putra-putri kita, sekolah, lingkungan, jalanan, bahkan televisi. Jadi, bukan kita sendirian yang mendidik putra-putri kita. Bukankah mereka seringkali meniru percakapan tidak etis antara para pelajar, guru, pengawas, atau sebuah sinetron, bahkan iklan?

Lantas, bekal apa yang harus kita –orang tua– punyai sebagai pendidik pertama bagi mereka, putra putri kita, agar menjadi insan yang shalih?!

Akidah membangun akhlak pikiran, akhlak jiwa dan akhlak perilaku dalam jati diri seorang anak. Untuk itu, metode pendidikan yang benar bermula dengan penanaman aspek akidah dalam hati anak, sehingga hal ini akan mengerucut pada pembentukan akhlaknya. Bila kita senantiasa menceritakan berbagai nikmat Allah kepada putra-putri kita, lalu mengikatnya dengan kewajiban seorang muslim untuk beribadah kepada-Nya, selanjutnya melalui ibadah inilah terbentuklah akhlak-akhlak Islam dalam dirinya. Dan ketahuilah, bahwa saat kita menunaikan kewajiban, kita akan merasakan keridhaan dan kesempurnaan.

Tak diragukan lagi bahwa keimanan dan ketaqwaan adalah bekal utama dan pondasi yang akan mengokohkan orang tua dalam mendidik putra-putrinya. Apalah jadinya seorang ayah menyuruh anaknya mengaji sedang ia sibuk dengan hp nya, atau laptopnya? Apa pula manfaatnya seorang ibu menyuruh anaknya sholat atau belajar sedang ia asyik dengan tv nya? Bukankah anak dilahirkan dalam keadaan fitroh, sedang orangtuanya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi?

Sungguh, sebuah teladan yang baik walau hanya sekali, seribu kali lebih berharga bagi anak ketimbang ribuan kata. Karena anak adalah peniru ulung. Tinggal bagaimana kita yang menjadi sosok “yang ditiru”, menyuguhkan sikap kepada mereka. Orang tua yang senantiasa membiasakan diri dengan amal ketaqwaan, secara tidak langsung juga membiasakan anak untuk menjadikan amalan-amalan itu sebagai kebiasaannya, hingga besar nanti.

Shalat faridhah, puasa, sunnah-sunnah dan nawafil, qiyamullail, berkata baik, jujur, senang membantu, berilmu (selalu semangat menuntut ilmu), dan masih banyak lagi amal ketaqwaan yang menjadi wasilah dalam beribadah kepada Allah. Karena manusia tidak diciptakan kecuali untuk ibadah.

Selanjutnya, mengasuh, mendidik, mencetak putra-putri menjadi pribadi yang shalih sungguh bukan pekerjaan yang gampang. Butuh kerja keras dan kesabaran ekstra. Apalagi ia bukanlah pekerjaan yang sebulan dua bulan selesai. Sama sekali bukan. Ia harus dilakukan oleh orang tua sepanjang hayatnya.

Karena itu sabar termasuk bekal penting yang harus kita miliki dalam mencetak generasi yang shalih. Sabar dalam melaluinya hari demi hari, kemudian bertawakkal kepada Allah akan hasilnya.

Beberapa metode pendidikan dalam Islam

  1. Memberikan qudwah dan teladan yang baik.

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya 30 bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun ia berdoa : Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat beramal shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberikan kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Al-Ahqaf: 15)

Betapa dalam makna yang terkandung dalam ayat ini. Lihatlah, sebelum si manusia memohon kepada Allah agar anak cucunya diberi kebaikan, ia memohon agar bisa melakukan amal shalih yang Allah ridhai terlebih dahulu. Ini berarti bahwa keshalihan orang tua memberi dampak yang sangat besar bagi keshalihan putra-putri kita.

Perilaku putra-putri kita adalah cerminan perilaku kita sendiri. Sumber kekuatan kita dalam mendidik putra-putri kita adalah perilaku yang benar sesuai dengan nilai-nilai yang hendak kita tanamkan pada diri anak. Ya, nilai-nilai itu ditanamkan, bukan diwajibkan.

Tanamkanlah pemikiran yang menuai tindakan. Tanamkanlah kebiasaan yang menuai kepribadian. Dengan menyadari bahwa jalan yang benar menuju komitmen putra-putri kita adalah komitmen kita sendiri, dan bahwa putra-putri kita adalah orang tua masa depan, dan lewat mendidik mereka, kita membentuk masa depan dengan “keteladanan”, bukan dengan “kritik dan ancaman”.

  1. Mendidik dengan nasihat dan motivasi.

Sebuah kalimat berisi motivasi yang ditujukan kepada seseorang yang sedang berada di bawah terkadang mampu mengangkatnya serta membuatnya mampu mewujudkan keinginannya. Sedang kalimat yang berisi ungkapan untuk menyerah, bisa jadi akan membuatnya mati.

Karena itu, sudah selayaknya kita sebagai seorang pendidik berhati-hati atas ucapan dan perkataan kita untuk menjaga hidup putra-putri kita.

Motivasi positif tentu memiliki pengaruh besar dalam memperbaiki perilaku anak-anak kita. Motivasi yang benar adalah motivasi yang semakin menguatkan keyakinan anak kepada Allah Ta’ala, bebas dari kesyirikan, ia sangat penting di samping memacu mereka agar bersungguh-sungguh dalam kebaikan.

Motivasi juga perlu kita berikan untuk menguatkan hati mereka menerima kritik. Seperti saat kita meyakinkan anak bahwa nilai buruk dalam ujian tidak selalu identik dengan kegagalan atau kekalahan. Nilai buruk hanya batu loncatan yang harus dilalui olehnya dengan segenap usaha dan kesungguhan untuk meraih yang lebih baik lagi. Sungguh, kepercayaan kita kepada putra-putri kita adalah motivasi terbaik bagi mereka.

Namun bukan berarti kita harus banyak-banyak memberikan nasehat kepada anak. Sebab terlalu banyak nasehat akan membosankan, bahkan hal ini bertentangan dengan petunjuk Rasulullah dalam memberi nasehat dan bimbingan. Di mana beliau tidak terlalu sering memberikan nasehat kepada para shahabat, sekalipun mereka pasti sangat senang mendengarkan nasehat dan arahan beliau.

Banyak bicara seringkali tidak memberi manfaat. Di waktu tertentu, nasehat baik yang disampaikan sesekali, justru lebih efektif dengan izin Allah Ta’ala. Inilah yang difahami para shahabat dari perbuatan beliau.

Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud saat diminta murid-muridnya untuk memberikan nasehat setiap hari: “Aku tidak akan melakukannya, karena itu akan membuat kalian bosan. Aku menjarangkan nasehat sebagaimana Rasulullah saw pun jarang memberikan nasehat karena khawatir kami bosan.” (Muttafaq ‘alaih)

Leave a Reply