Pemilik Dua Kepang (2)

Pemilik Dua Kepang (2)

Apa yang sebenarnya pemuda itu mimpikan dalam tidurnya, hingga ia tersenyum bahagia. Aku (Ibnu Qudamah) sungguh dibuatnya penasaran. Saat ia terbangun, aku segera bertanya, “Wahai anakku, aku melihatmu tertawa bahagia saat kau tertidur tadi.”

“Wahai Paman, aku bermimpi sesuatu yang menakjubkan, yang membuatku tertawa gembira. Aku melihat diriku berada di sebuah padang hijau, aku pun berjalan menyusuri keindahannya, hingga aku mendapati sebuah istana perak, pintunya dari emas, berhiaskan intan permata. Lalu tersingkaplah tirai-tirainya, dan keluarlah bidadari-bidadari, berwajah seterang purnama. Saat melihatku, mereka berkata, “Marhaban, selamat datang.” Namun, mereka mencegah uluran tanganku saat aku ingin meraih salah satu dari mereka, “Jangan terburu-buru, belum saatnya,” ujarnya.

Aku mendengar mereka saling berbisik, “Dia adalah suami ‘Aina Mardhiyah.” “Silahkan maju,” kata salah seorang di antara mereka. Aku pun meneruskan langkahku, hingga sampailah aku di istana atas, ada sebuah kamar terbuat dari emas merah, dengan ranjang mewah dari zamrud hijau, tiang-tiangnya berbalut perak putih, didalamnya ada seorang bidadari seterang mentari. Andai Allah tidak memberiku kekuatan, pastilah aku buta dan gila.

“Selamat datang, wahai wali Allah dan kekasih-Nya, engkau milikku, dan aku milikmu,” sapanya.

Sungguh aku ingin segera meraih tubuhnya dalam dekapanku, namun ia mencegahku, “Bersabarlah, jangan tergesa, belum datang masanya, kita akan bertemu kembali esok setelah dhuhur, bergembiralah.” Begitu kisahnya kepada kami semua.

Aku takjub mendengar kisahnya, lalu kukatakan pada pemuda tersebut, “Sungguh mimpi yang indah dan baik, dan apa yang akan terjadi adalah kebaikan.”

Kami melewati malam itu dengan penuh rasa takjub, kisah mimpinya terbayang di pelupuk mata.

Keesokan harinya kami segera bersiap menaiki kuda-kuda kami. Terdengar panggilan menyemangati kami, “Wahai tentara Allah, bersiaplah, bergembiralah dengan janji jannah-Nya, berangkatlah dalam keadaan ringan maupun berat, dan berjuanglah.”

Perang lantas berkecamuk, tentara musuh terus berdatangan seakan belalang beterbangan. Aku melihat pemuda tersebut orang pertama dari kami yang menyambut musuh. Aku sungguh mengkhawatirkannya. Aku pun mengikutinya, saat berhasil sejajar dengannya, kukatakan padanya, “Anakku, pulanglah, engkau masih kecil, belum berpengalaman dalam perang.”

“Paman, tidakkah engkau mendengar Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” Al-Anfal, 8:15

Apakah engkau ingin aku masuk neraka?” jawabnya tegas.

Kami kemudian terpisahkan oleh musuh, masing-masing kami sibuk memerangi musuh. Saat perang berakhir, aku berkeliling melihat mereka yang telah dipilih Allah menjadi syuhada’. Ada banyak korban dari kami, sebagian terluka, sebagian besar tak lagi dikenali, tertutup dengan pasir, darah, dan luka. Di antara mereka ada seorang pemuda, tubuhnya penuh dengan panah yang menancap, wajah dan tubuhnya tertutup darah, pasir, dan  injakan kuda. Di sela-sela nafasnya, ia berteriak, “Wahai kaum muslimin, tolong panggilkan Abu Qudamah, Wallahi, demi Allah.”

Demi mendengar teriakannya, aku segera mendekat, “Ya, aku Abu Qudamah,” kataku.

“Paman, mimpi itu akan segera menjadi nyata, demi Rabb Pemilik Ka’bah, aku adalah putra pemilik dua kepang,” ujarnya.

Aku segera menjatuhkan diriku meraihnya, kucium keningnya, kuusap darah dan debu yang menghalangi wajah purnamanya, “Anakku, jangan lupakan aku, Abu Qudamah, dari syafaatmu kelak,” bisikku pilu.

“Orang sepertimu tidak pantas untuk dilupakan, wahai Paman. Jangan usap wajahku dengan bajumu, bajuku saja, agar aku jumpa dengan Allah dengan bajuku sebagai saksi. Paman, bidadari yang aku ceritakan kepadamu tengah menungguku di sampingku, ia berkata, “Ayo, cepatlah, aku merindukanmu.” “Demi Allah, wahai Paman, jika Allah mengijinkanmu pulang dengan selamat, bawalah bajuku ini untuk ibuku, serahkan kepadanya, agar ia tahu bahwa aku tidak menyiakan wasiatnya, bahwa aku tidak takut bertemu musuh. Sampaikan salamku kepadanya, dan katakan kepadanya, bahwa Allah telah menerima hadiahnya.”

“Paman, aku mempunyai seorang adik perempuan yang masih kecil, umurnya sepuluh tahun, ia selalu menyambutku jika aku pulang, dan ia menjadi orang terakhir yang mengantarkan kepergianku jika aku hendak keluar. Sebelum aku pergi, adikku berpesan, “Kakak, jangan terlalu lama menginggalkan kami.” Jika engkau menjumpainya, sampaikan salamku kepadanya, dan katakan kepadanya, “Allah yang akan menjagamu hingga hari akhir kelak.”

Ia lalu tersenyum, mengangkat telunjuknya dan bersyahadat, Laa ilaaha illallah, tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Allah, sungguh benar janji-Nya, Muhammadur Rasulullah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, inilah yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan sungguh benar Allah dan Rasul-Nya.

Setelah itu, ruhnya pergi menghadap Sang Pencipta.

Aku lalu menutupi wajahnya dengan bajunya. Namun saat kami hendak menguburkannya, bumi seakan menolak jasadnya, akhirnya kami membaringkannya di atas tanah. Tiba-tiba datanglah burung besar yang memakan jasadnya hingga hanya tersisa tulangnya.

Peperangan usai, dan kami kembali pulang ke kampung halaman kami. Sepanjang perjalanan, aku hanya terbayang rumah pemuda tersebut. Sesampainya di depan rumahnya, aku melihat seorang gadis kecil dengan wajah purnama. Ia bertanya kepada setiap orang yang lewat tentang kakaknya. Aku lalu menghampirinya. Ia menyambutku seraya bertanya, “Wahai Paman, engkau datang dari mana?” “Dari perang,” jawabku. “Apakah kakakku pulang bersamamu?” tanyanya lagi dengan linangan air mata. “Apalah peduliku, orang-orang pulang, sedang kakakku tidak?” ujarnya pilu.

“Nak, tolong panggilkan pemilik rumah ini, katakan bahwa Abu Qudamah mencarinya,” kataku padanya.

Wanita tua itu mendengar perkataanku dari dalam rumah, ia lantas keluar. Aku memberinya salam. Ia menjawab salam dan bertanya, “Apakah engkau datang dengan berita gembira atau duka?” “Semoga Allah merahmatimu, apa yang engkau maksud dari berita gembira dan berita duka?” tanyaku. “Jika engkau mengabarkan bahwa putraku pulang dengan selamat, maka itu berita duka. Namun, jika engkau mengabarkan bahwa putraku syahid, maka itu berita gembira,” ujarnya.

“Kalau begitu, bergembiralah wahai Ibu, Allah telah menerima hadiahmu,” jawabku.

Ia lalu menangis, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan putraku tabungan di akhirat,” bisiknya penuh haru.

Aku lantas bertanya tentang adik pemuda tersebut. Ibu itu memberi tahu bahwa gadis kecil yang menyambutku tadilah, adik pemuda tersebut. Aku lalu menceritakan semua yang aku lihat di peperangan kemarin, kukisahkan pula tentang jasadnya.

Mendengar kisahku, ibu itu berkata, “Putraku senantiasa bangun malam, dan aku sering mendengar ia dalam doanya, bermadah memohon kepada Allah agar dibangkitkan oleh-Nya kelak dari tembolok burung.”

Allahu Akbar, Allah sungguh mengabulkan permintaannya. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang shalih.

Aku kemudian bercakap dengan gadis kecil, adik dari pemuda itu. Ku katakan padanya bahwa kakaknya mengirimkan salam, dan bahwa Allah yang akan menjaganya setelah kepergian kakaknya, hingga hari akhir nanti. Mendengar perkataanku, gadis tersebut menjerit lalu jatuh pingsan, namun, saat aku hendak menyadarkannya, aku sadar bahwa ia telah tiada. Aku sungguh takjub dan heran dengan apa yang aku saksikan. Kesedihan menyelimuti hatiku. Akhirnya, aku serahkan baju pemuda yang berlumur darah kepada ibunya, lalu aku berpamitan kepadanya.

Sungguh kesabaran yang luar biasa. Pendidikan yang luar biasa. Ibu mulia yang mendidik anak-anaknya dengan derma dan pengorbanan, perjuangan dan keikhlasan, keberanian dan kesabaran. Ibu shalihah yang menanamkan kecintaan yang besar kepada Allah di hati putra-putrinya, hingga tiada rasa takut dan khawatir di hati mereka, selama Allah bersama hamba-Nya. Allah tujuan hidup kami, Allah tempat kami bergantung harap dan asa.

Najmach Wafa’

Leave a Reply

%d