Pemilik Dua Kepang

 

Ada hamba-hamba Allah yang mukhlis yang berjalan di muka bumi, hati mereka terikat kuat dengan Sang Pencipta, mereka bersujud di bumi, berbisik penuh harap, melangitkan doa. Tiada apapun yang membuat mereka takut, bagaimanalah, sedang Allah adalah sandaran dan kekuatan mereka. Jalan mereka jelas, tujuan mereka terang, dan misi mereka adalah keridhaan Allah, tiada yang lain.

Amalan mereka sejalan dengan petunjuk al-Quran dan sunnah sang utusan. Pujian manusia akan amalan, mereka tak hirau. Bahkan mereka berharap, dirinya ditelan bumi saat beribadah kepada Allah, saat tangan menengadah memohon rahmat-Nya. Berharap tidak ada mata yang melihatnya tengah berjuang, memenangkan keridhaan-Nya dengan jihad. Karena mereka faham, bahwa kasih-Nya tercapai dengan iman, hijrah, dan jihad yang berkesinambungan.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيم

“Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad untuk membela Islam adalah orang-orang yang mengharapkan ampunan dan pahala dari Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk.” Al-Baqarah, 2:218

‘Iffah/menjaga kehormatan

Dan ini, kisah indah yang ditulis dengan tinta emas sejarah, sebagaimana dituturkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya Shifatu Shafwah. Tentang keikhlasan, kesabaran, pengorbanan, pendidikan, kebesaran hati.

Abad ke 10 H. Romawi menyerang Syam. Abu Qudamah asy-Syami berkhutbah di hadapan manusia, mengingatkan akan akhirat, akan dunia yang sementara. Ia bangkitkan semangat berkorban dan berjuang di jalan Allah. Ia perdengarkan ayat-ayat Allah:

“Wahai kaum mukmin, mengapa kalian merasa sangat keberatan ketika diperintahkan kepada kalian: “Pergilah berjihad untuk membela Islam?” Apakah kalian lebih mencintai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat? Padahal kesenangan dunia hanyalah sangat sedikit jika dibandingkan dengan kesenangan di akhirat. Wahai kaum mukmin, jika kalian tidak mau berperang, maka Allah akan mengadzab kalian dengan adzab yang pedih. Allah akan mengganti kalian dengan kaum lain yang mau berjihad, dan kalian tidak akan dapat sedikitpun merugikan Rasulullah. Allah Maha Kuasa mengatur semuanya.” At-Taubah, 9:38-39

Mari kita simak langsung kisahnya dari Abu Qudamah:

Ketika aku turun dari mimbar, ada seorang wanita yang memanggilku, “Wahai Abu Qudamah”. Namun aku mengabaikannya. Wanita tersebut memanggilku kembali, namun lagi-lagi aku tidak menghiraukannya, aku khawatir fitnah. “Wahai Abu Qudamah, bukan seperti ini akhlak orang-orang shalih,” panggil wanita tersebut untuk yang ketiga kalinya. Mau tak mau, akhirnya aku pun menjawab panggilannya, bertanya ada apa.

“Aku mendengar seruanmu akan jihad. Aku tidak memiliki apapun selain dua kepang rambutku. Kepang ini sudah aku lumuri dengan pasir, agar tak seorang pun melihatnya. Ambillah, gunakan untuk tali kekang kudamu yang engkau gunakan untuk berjihad,” jelas wanita itu.

Masya Allah, semoga Allah merahmatinya. Bahkan terhadap rambut yang jelas sudah terpisah dari bagian tubuhnya, ia tetap merasa malu, ia tetap menjaga “mantan” mahkota tubuhnya dari pandangan laki-laki.

“Dan ketahuilah wahai Abu Qudamah, suamiku terbunuh dalam peperangan, ia meninggalkan seorang putra yang telah belajar quran, berkuda, dan memanah. Ia senantiasa menghidupkan malam-malamnya, juga menggunakan siangnya untuk berpuasa. Ia berumur lima belas tahun, sekarang tengah menggembala ternak peninggalan ayahnya. Aku berharap ia bisa menyusulmu, untuk ku persembahkan kepada Allah. Aku memintamu demi kehormatan Islam, jangan menolak pemberianku,” lanjutnya penuh harap.

Dengan linangan air mata, aku lantas mengambil kepang rambut dari wanita tersebut.

Madrasah terbaik

Ketika aku dan pasukanku sampai di benteng Maslamah bin Abdul Malik, ada seseorang yang menyusul pasukan sembari memanggil, “Wahai Abu Qudamah, tunggu aku sebentar, semoga Allah merahmatimu.”

Aku berhenti demi mendengar suara tersebut. “Jalanlah dahulu, aku ingin tahu siapa yang memanggilku,” ujarku kepada kawan-kawanku. Orang itu lantas mendekatiku dan kemudian memelukku, “Segala puji bagi Allah, yang telah mengijinkan aku membersamaimu,” katanya. Aku pun memintanya untuk membuka penutup wajahnya. Saat ia membukanya, aku begitu takjub dengan keelokan wajah dan betapa muda umurnya.”

“Apakah ayahmu masih hidup?” tanyaku. “Tidak, justru aku keluar bersamamu karena ingin membalaskan dendam ayahku, beliau syahid, dan aku berharap Allah akan mengaruniakan kepadaku kesyahidan seperti ayahku” balasnya. “Apakah kamu punya ibu?” tanyaku lagi. Ia menganggukkan kepalanya. “Pulanglah dan mintalah ijin kepadanya, aku mengijinkanmu jika ibumu memberimu ijin, namun jika ibumu tidak rela, maka tinggallah bersamanya. Taatmu kepadanya lebih utama dari jihad. Sebab, jannah berada di bawah bayang-bayang pedang, pun di bawah telapak kaki ibu,” perintahku kepadanya.

“Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, jangan halangi aku dari membersamaimu. Aku adalah asy-syahid, putra asy-syahid, insya Allah. Jangan lihat umurku, dan sungguh, ibuku bersumpah agar aku tidak kembali kepadanya. Ibuku berpesan kepadaku sebelum aku berangkat: “Wahai anakku, jangan lari dari musuh, persembahkan dirimu untuk Allah, mintalah kepada-Nya agar dikumpulkan kembali dengan ayah dan orang-orang shalih di jannah. Jika Allah mengaruniamu kesyahidan, maka berikan aku syafaatmu. Beliau lalu menengadah ke langit sembari berbisik, “Wahai Tuhanku, tempatku bersandar, ini putraku, penyejuk jiwaku, buah hatiku, aku persembahkan untuk-Mu, maka dekatkanlah ia kepada ayahnya.”

Aku menangis mendengar permohonannya. Takjub akan kesabaran dan pendidikan terbaik yang diberikan ibu tersebut kepada anak ini.

“Wahai paman, mengapa menangis? Apakah engkau kasihan karena umurku? Sungguh, Allah menyiksa mereka yang lebih kecil dariku karena dosa yang mereka perbuat,” tanyanya.

“Bukan karena itu aku menangis, namun aku membayangkan bagaimana ibumu nanti sepeninggalmu,” jawabku.

Kami pun melanjutkan perjalanan di saat fajar menjelang, setelah sebelumnya sempat beristirahat sejenak. Aku memperhatikan pemuda tersebut. Lisannya tak pernah berhenti mengingat Allah. Ia benar-benar penunggang kuda yang mahir. Jika kami beristirahat, ia ringan tangan menyiapkan segala hal. Betapa kuat azzamnya, betapa bening hatinya, wajahnya berseri menyiratkan kebahagiaan.

Kami akhirnya sampai di dekat pasukan musuh saat matahari memancarkan sinar terakhirnya. Kami lantas beristirahat. Saat itu kami dalam keadaan berpuasa. Aku melihatnya tengah sibuk memasak makanan untuk kami berbuka. Tak lama kemudian, ia tertidur. Tidur yang tidak sebentar. Ia tersenyum dalam tidurnya. Aku lalu berkata kepada pasukan, “Lihatlah, ia tertawa dalam tidurnya!”

Apa yang sebenarnya pemuda itu lihat dalam mimpinya? Aku akan menceritakannya di kesempatan berikutnya, insya Allah.

Bersambung…

 

 

 

 

Leave a Reply

%d