Empat Saudari Mukminah 3

Asma’ bint Umais

“Ada empat wanita bersaudara, dan mereka adalah wanita mukminah sejati. Maimunah bint Al-Harits, Ummul Fadhl bint Al-Harits, Salma bint Umais dan Asma’ bint Umais (saudara seibu).” H.R. An-Nasa’i dan Hakim. Dishahihkan oleh Al-Albani.

Keempat saudari ini adalah istri dari keluarga Rasul yang mulia. Maimunah Ummul Mu’minin, istri Rasul saw. Ummul Fadhl adalah istri Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi saw. Sementara, Salma adalah istri sayyidus syuhada’, Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi saw. Sedang Asma’ adalah istri Ja’far bin Abi Thalib, anak paman Nabi saw.

Sebuah kemuliaan berlipat. Kesaksian dari lisan Rasul yang mulia, yang tak pernah keluar darinya nafsu dan dusta. Garis keturunan mulia. Saudari-saudari mukminah yang tulus. Istri keluarga mulia. Saudari dari sahabat-sahabat mulia. Adakah kemuliaan yang menandingi ini semua?

***

Asma’ adalah seorang wanita dengan berbagai kemuliaan tiada tara. Ia termasuk wanita yang bersegera menyambut Islam di awal seruannya. Di tangan Abu Bakar, ia dan suami pertamanya mengikrarkan diri tunduk dalam penghambaan kepada Allah. Ia menikah dengan tiga orang ahli syurga. Mari bersama kita simak kisah hidupnya yang mulia.

Bersama sang suami, Ja’far bin Abi Thalib, Asma’ belajar Islam dengan penuh semangat dan kesungguhan. Siksaan kaum Quraisy tak mampu membelokkan mereka dari keteguhan ber Islam. Hingga ketika siksaan itu semakin tak terperi, kemudian perintah hijrah diturunkan, mereka akhirnya ikut berbaris menuju Habasyah, membasuh luka di negri seorang Najasyi, yang disifati Rasul sebagai raja yang tidak akan mendzalimi siapapun yang berada di bawah kekuasaannya.  Di tanah Habasyah inilah, Asma’ melahirkan tiga buah hatinya, Abdullah, Muhammad, dan ‘Aun.

10 tahun hidup nyaman di bawah perlindungan Najasyi, mereka kemudian pulang dan menyusul Rasul ke Madinah dengan segenap kerinduan dan air mata bahagia. Kedatangan mereka berbarengan dengan saat Rasul pulang dari Khaibar setelah kemenangan besar. Ah, bahkan, Rasul tertawa bahagia saat itu sembari berkata, “Aku tidak tau manakah yang lebih membahagiakan, kemenangan di Khaibar, ataukah kedatangan kalian.”

Pernah suatu ketika, Umar membanggakan diri di hadapan Asma’ saat ia berkunjung ke rumah Hafshah, putri Umar. Bahwa kamilah yang lebih dulu hijrah dibanding kalian, kami lebih berhak dekat dengan Rasul. Asma’ tersinggung. Ia kemudian menghadap Rasul dan menceritakan apa yang terjadi. “Ia tidak lebih pantas dekat denganku daripada kalian. Ia mendapat pahala hijrah satu kali. Sedangkan kalian mendapat pahala hijrah dua kali.” Jawaban Rasul mulia ini sangat melegakan hatinya.

Bagaimanapun, hijrah bukanlah perkara mudah. Meninggalkan kampung halaman, kerabat dan sanak saudara, menahan segala kerinduan, belum usaha menyesuaikan diri di tanah hijrah yang membutuhkan banyak perjuangan. Lelah dan letih di sepanjang jalan, bahaya yang mengintai, musuh yang dapat mengejar dan membunuh setiap saat, serta berbagai pengorbanan lainnya.

Tahun 8 Hijriyah. Ja’far ditunjuk oleh Rasul menjadi salah satu panglima di pertempuran Mu’tah menghadapi tentara Romawi. “Jika Zaid bin Haritsah gugur, maka Ja’far bin Abi Thalib penggantinya. Dan jika Ja’far gugur, maka penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah,” perintah Rasul saat itu.

Dan ketiganya gugur. Rasul sendiri yang mendatangi Asma’ di rumahnya, memanggil semua putra Asma’, lalu menciumi mereka satu-persatu dengan air mata yang mengalir. Melihat itu, Asma’ bertanya, “Wahai Rasul, biarlah ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, apakah engkau mendengar berita Ja’far dan pasukannya, hingga engkau berurai air mata seperti ini?”

“Benar, hari ini mereka gugur,” jawab Rasul.

***

Sepeninggal Ja’far, Abu Bakar datang meminang dan menikahinya. Asma’ menjalani kehidupan baru bersama manusia terbaik setelah Rasul saw dengan penuh berkah dan ketaatan kepada Allah.

Tahun 10 H. Ia bersama suami keduanya ikut dalam rombongan Rasulullah untuk melaksanakan haji wada’. Ia tengah hamil besar dan akhirnya melahirkan putranya Muhammad, saat hendak ihram.

Hari demi hari berlalu, Asma’ terus berada di sisi suaminya, mendukung dan membantunya dalam mengemban khilafah menggantikan Rasulullah. Sang suami, di akhir hayatnya berwasiat agar Asma’ yang memandikannya. Asma’ menerima wasiat tersebut dengan patuh. Ia pun memandikan jasad suaminya, sedang ia dalam keadaan puasa. Ia lalu teringat bahwa dahulu Abu Bakar pernah bersumpah agar apabila hari kematiannya tiba, istrinya tidak boleh berpuasa. Asma’ lantas meminta pembantunya untuk membawakan air minum dan meminumnya seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan membiarkannya berhutang karena sumpahnya.”

Ia patuh hingga sepeninggalnya. Ia setia hingga akhir hayatnya.

***

Sepeninggal Abu Bakar, Allah menggantikannya dengan Ali bin Abi Thalib, yang datang meminang dan menikahinya. Dengan demikian, ia menjadi satu-satunya wanita yang menikah dengan tiga orang ahli syurga. Betapa mulia hidupnya.

Pernah, kedua putranya, Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abu Bakar terlibat dalam perdebatan dan saling membanggakan diri. Masing-masing berkata, “Aku lebih mulia darimu, karena ayahku lebih mulia dari ayahmu.” Mendengar itu, Ali berkata kepada istrinya, “Selesaikan perkara ini, wahai Asma’.”

Sang ibunda melerai keduanya, “Aku tidak pernah melihat pemuda Arab yang lebih baik daripada Ja’far, dan aku tidak pernah melihat orang tua Arab yang lebih baik dari Abu Bakar.” Cerdas dan cadas. Hingga Ali berseloroh, “Engkau tidak menyisakan sedikitpun untuk kami.”

“Di antara ketiga orang mulia itu, engkau adalah yang paling tidak membutuhkan pertimbangan untuk dipilih,” jawab Asma’.

Asma’ bint Umais wafat tak lama setelah suaminya, Ali bin Abi Thalib, wafat. Semoga Allah meridhai Asma’ yang telah meraih sekian banyak kemuliaan dan kehormatan.

 

 

 

Leave a Reply

%d