Akan senantiasa ada orang-orang yang teguh menapaki jalan dakwah. Meniti jalan para nabi dan rasul. Menjejak keteladanan para utusan yang mengajak manusia menghamba pada Sang Pencipta. Menggemakan keindahan akhlak dan keelokan pekerti luhur. Inilah jalan panjang para pejuang. Ada kenikmatan di balik lelah, ada keberkahan di balik perihnya luka, ada ketenangan di balik jeruji besi. Ianya sarat akan pengorbanan dan perjuangan. Karena luka, lelah, letih, penjara, bahkan kematian adalah sebuah keniscayaan dari perjalanan ini.
Dan di antara kafilah ini, ada banyak wanita yang lantang menyuarakan kebenaran, berdiri tegak menghadang kedzaliman.
Ummu Syuraik
Dikisahkan oleh Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Keindahan Islam menyentuh hati Ummu Syuraik, yang saat itu masih berada di Makkah bersama suaminya Abul Askar Ad-Dausi. Ia seakan tidak rela jika hanya ia seorang yang merasakan nikmatnya Islam. Ia begitu bersemangat mengajak wanita-wanita Quraisy untuk bersama mereguk nikmatnya Islam. Ia lakukan dakwahnya dengan sembunyi-sembunyi, hingga akhirnya apa yang ia lakukan didengar oleh penduduk Makkah. Mereka kemudian menahan Ummu syuraik, “Andai bukan karena menghormati kaummu, pasti kami sudah menyiksamu seperti yang lain. Kami hanya akan mengembalikanmu kepada kaummu.”
Ia lalu dinaikkan ke punggung unta tanpa alas, dibiarkan selama tiga hari tanpa memberinya makan dan minum. Mari kita dengarkan kisahnya dari penuturannya, “Mereka lantas membawaku dan menaikkanku di atas unta tanpa alas, mereka tidak memberiku makan dan minum selama tiga hari. Jika kami berhenti di suatu tempat, mereka akan mengikatku di bawah terik matahari, sementara mereka berteduh. Dan saat itulah, aku merasakan ada sesuatu yang dingin menyentuh dadaku. Aku pun mengambilnya, ternyata sebuah ember berisi air. Aku pun meminumnya sedikit, lalu ember itu terangkat dariku, kemudian mendekat lagi, aku meminumnya lagi, ember itu terangkat lagi, kemudian mendekat lagi, dan aku meminumnya lagi, begitu berkali-kali, hingga aku tidak merasakan haus lagi, akhirnya aku menuangnya ke seluruh tubuhku.”
“Ketika mereka yang membawaku terbangun, kemudian melihatku dalam keadaan baik-baik saja, pun dalam kondisi basah, dengan heran mereka bertanya, “Apakah engkau berhasil melepaskan diri, lalu kau ambil air minum kami, dan meminumnya?” Aku jawab, “Tidak, demi Allah, sebenarnya yang terjadi adalah demikian dan demikian,” ku ceritakan apa yang ku alami kepada mereka. “Jika engkau jujur, maka sungguh, agamamu lebih baik daripada agama kami.”
Masya Allah, mereka kemudian menyerahkan jiwa mereka kepada Allah dengan penuh ketundukan dalam pangkuan Islam, setelah sebelumnya mereka bergegas memeriksa air minum mereka, yang ternyata mereka dapati masih utuh seperti sedia kala.”
Zainab al-Ghazali
Dialah Zainab al-Ghazali al-Jabili, keturunan suku Quraisy yang mulia. Nasabnya bersambung dari ayahnya kepada sahabat mulia Umar bin Khattab. Dia dilahirkan di sudut desa Mesir. Memperoleh pendidikan terbaik dari sang ayah, Syaikh Harun, salah seorang ulama besar di universitas al-Azhar asy-Syarif.
Perjalanan dakwahnya begitu menakjubkan, ia tegak bagai karang di tengah gelombang ujian, siksaan, dan kematian. Tahun 1357 H/1936 M, adalah tahun pertama ia mengetuai Jamaat Muslimat. Sebuah perkumpulan yang ia desain untuk para muslimat pengemban dakwah, yang bertujuan menyebarkan dakwah Islam, menyeru umat Islam untuk kembali kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Mereka berjuang untuk mewujudkan umat yang mampu mengembalikan keagungan dan kedaulatan Islam. Semua dilaksanakan semata-mata karena Allah dan senantiasa demi Allah. Ini tidaklah mengherankan, mengingat dekatnya masa ini dengan padamnya pelita khilafah Islam di Turki, di tangan Mustafa Kamal at-Taturk, pada tahun 1924.
1964 M, pemerintah Mesir kala itu, di bawah pimpinan Gamal Abdun Naser, menurunkan surat keputusan pembubaran Jamaat Muslimat, demi menahan laju dakwah Islam. Berbagai macam cara, bujuk rayu, penggeledahan paksa ditempuh, bahkan rencana pembunuhan Zainab dengan menabrak mobil yang ia kendarai pun dilegalkan. Namun Allah masih melindungi Zainab.
Beliau menyatakan baiat kepada Imam Hasan al-Banna, setelah sekian lama beliau menjalin hubungan baik dengan pendiri Ikhwanul Muslimin tersebut.
Teror dan gangguan bertambah gencar ditujukan kepada beliau. Anggota Ikhwanul Muslimin ditangkap satu persatu. Bahkan ada seorang wanita tua berusia 85 tahun yang ikut ditangkap dan dipenjarakan. Subhanallah, betapa keimanan yang kokoh akan begitu ditakuti musuh, meski pemiliknya bertubuh renta lagi lemah. Puncaknya, ketika beliau ditangkap dengan tuduhan perencanaan pembunuhan terhadap presiden Gamal Abdun Naser, pada tanggal 20 Agustus 1964.
Cacian, makian, siksaan, bujuk rayu, cambuk dan sel-sel penyiksaan adalah makanannya sehari-hari. Sel 24, sel penyiksaan dengan bentuk penerangan yang tajam yang dipenuhi anjing lapar. Mari kita dengarkan penuturan beliau, “Saya pejamkan mata dan saya silangkan kedua tangan saya ke dada karena benar-benar ketakutan. Sementara itu terdengar pintu sel ditutup dengan rantai dan gembok. Anjing-anjing itu berebutan menerkam tubuh saya. Rasanya tidak ada bagian dari tubuh saya yang luput dari gigitan anjing. Saya sibukkan diri dengan Asmaul Husna. Beberapa saat kemudian pintu sel dibuka. Saya membayangkan baju putih saya kuyup dengan darah. Tapi alangkah kagetnya ketika saya melihat baju saya utuh, dan tidak ada luka sedikitpun di tubuh saya. Subhanallah, ternyata Ia senantiasa bersama saya. Ya Allah, apakah hamba sepertiku layak untuk mendapat anugrah dan kehormatan yang sedemikian besar dari-Mu? Kepada-Mu lah kubisikkan pujian dan syukur.”
“Mereka juga melecuti saya dengan cambuk hingga pingsan berkali-kali. Kemudian mereka melemparkan saya ke dalam sel air. Saat saya siuman, mereka memerintahkan saya untuk duduk seperti dalam shalat. Permukaan air persis di bawah dagu saya. Dan saya tidak boleh bergerak sedikitpun, saya berada di sana selama delapan hari, hingga kesehatan saya turun drastis.”
“Dari sel air ke sel tikus, kemudian ke sel air lagi, kaki dicambuk dalam keadaan badan saya digantung. Kemudian ke sel api, dimana di tengah-tengah ruangan terdapat api yang berkobar, sedang di sudut-sudut ruangan ada serdadu yang berjaga dengan cambuk mereka. Mereka terus menyiksa sembari memaksa saya untuk menulis surat pernyataan, bahwa kami, saya, Hasan al-Banna, Sayyid Qutub, bersekongkol untuk membunuh presiden. Memaksa saya untuk menulis permohonan maaf, bahwa presiden adalah orang baik yang pemaaf, dia pasti akan membebaskan saya dari neraka ini.”
“Mereka bahkan meneror suami saya agar menceraikan saya. Hingga saya mendengar kabar kematiannya saat saya masih di penjara, setelah sebelumnya dia jatuh sakit setelah para penguasa menguasai beberapa buah perusahaan, harta, tanah dan rumahnya. Sebelum kepergiannya, ia yang akhirnya terpaksa menandatangani surat perceraian saya, menyatakan, “Ya Allah! Saksikanlah, bahwa saya tidak menceraikan istri saya Zainab al-Ghazali al-Jabili!”
“Kami mendengar para ikhwah dibunuh satu demi satu. Sedang pengadilan memutuskan penjara seumur hidup untuk saya. Tahun 1967, saya dipindah ke penjara wanita Al-Qanathir. Penjara bagi mereka para terhukum karena mencuri, melacur, narkotik, dan membunuh. Rasanya masih lebih ringan pecutan dan siksaan ketimbang hidup dengan menyaksikan wanita yang telah menjadi hamba nafsu yang lupa akan kemanusiaan, kesucian, harga diri dan kehormatan mereka.”
“Kematian adalah hak. Tak seorang pun yang kuasa mengelak darinya. Kami akhirnya mendengar berita kematian Abdun Naser. Jaksa kemudian memeriksa kembali kasus saya. Dini hari, 10 Agustus 1971, akhirnya saya dibebaskan, setelah 7 tahun lamanya berada di penjara.”
Dan inilah perkataan emas Zainab al-Ghazali tentang ahlul qiblah, perkataan yang keluar dari hati yang jernih, yang memancarkan cahaya tauhid dan keimanan:
Ahlul qiblah, mereka yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, Muhammad Rasulullah, kemudian mereka mengamalkan apa yang dibawakan oleh Rasulullah saw dari Tuhannya. Ahlul qiblah bercirikan senantiasa menegakkan shalat, menunaikan zakat, gemar berpuasa, menunaikan haji jika mampu, serta yang berkonsekuen melaksanakan hukum kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, tidak mengarang hukum sendiri, tidak menerapkan hukum kecuali yang telah diturunkan oleh Allah Ta’ala.
Sungguh, dakwah Ummu Syuraik dan Zainab al-Ghazali adalah semata-mata karena Allah. Tidak secuilpun hasrat dunia terbersit dalam hatinya. Ia meyakini bahwa kenikmatan ada di tengah ombak kepenatan dan keletihan, selama Allah yang menjadi tujuan. Ia yakin bahwa Allah senantiasa bersamanya, karena jika ridha Allah yang menjadi keinginan, maka tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Karena Allah lah satu-satunya penolong, sebaik-baik penjaga, bagi mereka yang beriman.
Najmach Wafa’